![]()
BEKASIVOICE.COM | Perundungan atau bullying bukan hanya persoalan konflik anak-anak atau sekadar bercandaan yang dianggap ‘tidak serius’. Ia adalah bentuk kekerasan sistematis yang menghancurkan harga diri, merusak kesehatan psikologis, dan mampu meninggalkan luka jangka panjang pada korban. Luka ini sering tidak terlihat, namun membekas dalam-dalam dan dalam banyak kasus, jauh lebih menyakitkan daripada kekerasan fisik.
Namun yang paling menyakitkan adalah kenyataan pahit bahwa korban kerap tidak pernah dianggap sebagai korban. Ketika mereka diam, mereka makin diinjak. Ketika mereka melawan, mereka dicap sebagai pelaku. Paradoks inilah yang membuat bullying menjadi lingkaran kekerasan yang sulit diputus.
Menurut laporan UNESCO tahun 2023, sekitar 1 dari 3 anak di dunia pernah mengalami perundungan. Di Indonesia, berdasarkan data KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia), kasus perundungan di lingkungan sekolah terus meningkat setiap tahunnya, dan mayoritas kasus tidak pernah ditindaklanjuti secara serius.
Sementara itu, WHO mencatat bahwa korban perundungan memiliki risiko 2 sampai 3 kali lebih tinggi mengalami depresi berat, kecemasan, bahkan kecenderungan bunuh diri di kemudian hari. Artinya, perundungan bukan hanya persoalan masa sekolah. Ia adalah persoalan hidup seseorang di masa depan.
Sayangnya, banyak orang hanya melihat bagian akhir dari cerita. Pelaku bullying sering melancarkan kekerasan secara halus: ejekan, penyingkiran sosial, intimidasi diam-diam. Ketika korban akhirnya tidak tahan dan membalas, itulah waktu orang lain melihat. Dan pada saat itu, korban tampak seperti agresor.
“Inilah mengapa banyak korban merasa terjebak dalam situasi tanpa pilihan: diam salah, melawan pun salah”
Seorang tokoh pendidikan, Paulo Freire, pernah berkata:
“Penindasan terjadi bukan hanya karena yang kuat menindas, tetapi juga karena yang lemah dibiarkan sendirian.”
Dan begitulah realitas yang sering terjadi. Korban perundungan tidak hanya berhadapan dengan pelaku, tetapi juga dengan diamnya lingkungan.
Korban bullying sering dianggap ‘lemah’, ‘tidak pandai bersosialisasi’, atau ‘terlalu sensitif’. Padahal, masalah sebenarnya bukan terletak pada korban. Masalahnya adalah pada Lingkungan yang tidak peka terhadap tanda-tanda kekerasan, Sistem pendidikan yang lebih mementingkan ketertiban daripada keadilan dan Budaya yang mengagungkan kekuatan dan mengecilkan empati
Ketika sistem lebih peduli pada citra ketenangan daripada kebenaran, korban akhirnya dipaksa untuk menanggung luka sendirian. Kita harus mengubah cara kita memandang perundungan. Tidak cukup hanya memberi sanksi kepada pelaku. Tidak cukup hanya menyuruh korban sabar. Yang kita butuhkan adalah transformasi cara berpikir
Kita perlu mengajarkan anak-anak bahwa keberanian bukan berarti kuat secara fisik, tetapi berani menghargai perasaan orang lain, kita perlu mendidik guru dan orang tua agar tidak mengabaikan tanda-tanda kecil dari perundungan dan kita harus menciptakan lingkungan di mana korban merasa aman untuk berbicara.
Seperti kata Nelson Mandela:
“Tidak ada yang lebih mencerminkan karakter suatu bangsa selain cara mereka memperlakukan anak-anak mereka.”
Pada akhirnya, melawan perundungan bukan hanya perjuangan untuk melindungi yang disakiti. Ini adalah perjuangan mempertahankan nilai kemanusiaan itu sendiri. Karena ketika kita membiarkan satu orang dipermalukan, diremehkan, dan dilukai tanpa pembelaan, maka kita sedang kehilangan bagian dari nurani kita sendiri.
Tidak ada seorang pun yang pantas merasa sendirian dalam rasa sakitnya. Tidak ada seorang pun yang pantas disalahkan karena mencoba membela dirinya. Dan tidak ada seorang pun yang pantas kehilangan harga dirinya hanya karena dunia memilih untuk tidak peduli.
Bullying bukan hanya cerita tentang siapa yang kuat dan siapa yang lemah.
Bullying adalah cerita tentang siapa yang berani peduli.