BEKASIVOICE – Bagi warga Kota Bekasi, Islamic Center berdiri megah sebagai landmark penting, mengemban fungsi ideal sebagai pusat kegiatan keagamaan, pendidikan, dan persatuan umat Islam. Di dalamnya, Masjid Nurul Islam menjadi magnet bagi ribuan jemaah. Sejarah mencatat, gagasan pendiriannya berasal dari Pahlawan Nasional K.H. Noer Alie pada tahun 1992, dengan tujuan mulia menyediakan ruang bagi umat. Dibangun di atas tanah milik Pemerintah Kota dan dikelola oleh Yayasan Nurul Islam KH. Noer Alie, Islamic Center seharusnya menjadi rumah terbuka bagi siapa pun yang berniat tulus beribadah dan menimba ilmu. Namun, di balik cita-cita luhur ini, muncul pertanyaan mendasar yang mengganjal benak masyarakat: mengapa akses ke “rumah Allah” ini mensyaratkan pembayaran?
Pertanyaan ini relevan mengingat setiap jemaah yang membawa kendaraan, baik untuk salat lima waktu, kajian, atau i’tikaf, akan disambut gerbang parkir otomatis yang baru terbuka setelah pembayaran tarif. Momen transaksional ini, meski terkesan sepele, secara fundamental mengubah makna dan spiritualitas ruang publik menjadi terasa privat dan berorientasi komersial. Pemberlakuan tarif parkir ini berpotensi mencederai niat ibadah, karena memaksa jemaah memikirkan uang sebelum melangkahkan kaki ke masjid. Bagi sebagian kalangan, seperti pelajar atau pekerja harian, tarif ini bisa menjadi beban psikologis, membuat mereka berpikir dua kali untuk singgah beribadah. Situasi ini kontradiktif dengan spirit pendiriannya yang didedikasikan untuk melayani umat, bukan memungut biaya dari mereka.
Manajemen yayasan mungkin berargumen bahwa tarif parkir diperlukan untuk biaya operasional seperti kebersihan, keamanan, dan perawatan. Argumentasi ini dapat dipahami, namun perlu dipertanyakan apakah mekanisme pendanaan lain yang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam telah dimaksimalkan. Pintu infak, sedekah, dan wakaf seharusnya menjadi sumber pendanaan utama sebuah lembaga keagamaan sebesar Islamic Center. Mengandalkan parkir berbayar sebagai pemasukan utama adalah jalan pintas yang mengorbankan esensi spiritualitas dan keterbukaan akses. Transparansi pengelolaan dana dapat mendorong umat untuk berdonasi secara sukarela, sebagaimana seharusnya sebuah pusat ibadah menarik keberkahan melalui partisipasi ikhlas.
Sebagai masyarakat, Islamic Center Bekasi adalah warisan ulama, aset umat, dan simbol keislaman kota. Penting bagi pengelola, Yayasan Nurul Islam KH. Noer Alie, untuk melakukan evaluasi mendalam terhadap kebijakan ini. Beberapa solusi dapat dipertimbangkan, seperti menerapkan parkir gratis bagi jemaah masjid melalui sistem validasi, menggalakkan gerakan infak yang transparan dan akuntabel, serta meninjau subsidi dari Pemerintah Kota Bekasi mengingat lahan tersebut milik publik. Sudah saatnya Islamic Center kembali pada khittah-nya: menjadi pusat kegiatan umat yang meneduhkan dan ramah bagi setiap tamu Allah tanpa sekat finansial, bukan kawasan komersial yang memasang tarif di gerbangnya.
H Imamuddin
(Ketua Pemuda ICMI Kota Bekasi)