Semangat Puputan Dalam Perang Bali

Loading

Bekasivoice.com – Puputan adalah istilah yang menggambarkan jiwa ksatria masyarakat Bali berupa tindakan perlawanan habis-habisan sampai mati. Istilah ini berasal dari kata “puput” yang artinya “tanggal” / “putus” / “habis / “mati”. 
Ilustrasi gambar oleh Gordon Johnson dari Pixabay
Puputan berarti perang sampai mati hingga orang terakhir, dan wajib berlaku untuk seluruh warga yang ada dari semua kasta baik raja maupun rakyat, baik laki-laki maupun perempuan hingga anak-anak.
Tahun 1904, Setelah Aceh jatuh ke tangan kolonial melalui perang yang sangat sengit, di bawah kesuksesan pemimpin gubernur militer hindia belanda Joannes Benedictus Van Heutsz. Pihak Belanda kembali menyusun rencana untuk memperluas wilayah jajahannya di bumi nusantara. Sasaran yang ditunjuk Belanda kali ini adalah pulau dewata, Bali.
Berbeda dengan raja-raja jahiliyah yang menyerang tanpa dalih. Dengan perkembangan intelektualnya, Belanda justru mencari dalih terlebih dahulu sebelum menyerang Bali. Meskipun nantinya dalih yang di dapat merupakan dalih yang sengaja dibuat-buat.

Bermula Dari Kisah Kapal Perang Sri Kumala

Kisah dimulai ketika kapal perang “sri kumala” yang karam di sekitar desa sanur. Di Bali saat itu berlaku hukum tawan karang, di mana kapal yang terdampar atau karam di wilayah bali akan menjadi hak milik, termasuk segala benda-benda yang terdapat di kapal tersebut maupun awak kapalnya. 

Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan pihak Belanda untuk memperoleh keuntungan membangkitkan motif perang. 

Kemudian Belanda melakukan kebohongan informasi yang menyatakan bahwa penduduk desa Sanur telah merampas 3000 keping ringgit melalui peristiwa itu. Rakyat bali yg merasa tidak bersalah tentu saja menolak tuntutan ganti rugi. Utusan militer Belanda yang datang ke denpasar menemui Mahapatih klungkung, I Gusti Agung Jelantik.
Apa yang diharapkan belanda tercapai, Jelantik menantang tuntutan ganti rugi. Jawaban itu berasal dari raja klungkung, I Dewa Agung Djampe di puri Asmarapura, Klungkung. 

Melalui pernyataannya “ganti rugi akan kami bayar dengan ujung tombak”, demikian Van Heutsz mendapatkan jalan untuk menyerang Denpasar, Bali.

Mula-mula satu kompi pasukan Belanda didaratkan di Nusa Dua dan Kuta. Semua bertujuan untuk menggempur denpasar. Pertempuran yang diprediksi akan sangat tidak seimbang. Sangat mengibakan, Bali merupakan negeri yang belum terjamah ilmu pengetahuan modern dan Klungkung tidak punya perdagangan kuat sehingga tidak memiliki biaya untuk melengkapi pasukan. Akan menghadapi militer Belanda dengan pasukan berkuda dan persenjataan modern.
Berbekal ajaran kesetiaan dan kedewataan seorang raja, sebelum berangkat ke medan perang setiap orang diharuskan melakukan persembahyangan di pura untuk mohon diri pergi ke alam keabadian. Mereka sangat menyadari peta kekuatan musuh tidak mungkin tertandingi. Puputan pun diumumkan.
6 KM sanur menuju Denpasar dan 11 KM kuta menuju Denpasar. Selama 20 hari peperangan terjadi namun Denpasar masih belum jatuh, selama 20 hari pula keris, tombak, dan bambu runcing mampu bertahan selama melawan senapan dan meriam.
Laki-laki maupun perempuan semua maju ke medan perang, seperti orang kesetanan mereka maju menebas setiap kompeni yang dilalui tanpa takut akan mati. 
Kadang mereka membunuh teman atau keluarganya yang sekarat di medan perang agar jiwanya bebas dan agar tidak menjadi tawanan perang. Bahkan wanita dengan bayi dalam gendongan belakang membawa tombak menyerbu seperti laron menerjang api bersimbah darah dirinya sendiri dan darah bayinya.
Kemudian 6 hari berturut-turut lamanya belanda memborbardir Puri Asmarapura, I Dewa Agung Djampe bersama seluruh punggawa kerajaan keluar dari istana menuju medan perang. Raja gugur di medan perang dengan berondongan peluru di tubuhnya. Detik itu juga akhirnya Denpasar jatuh ke tangan belanda.
Bertahan selama sebulan bermodal Senjata tajam melawan senapan dan meriam sungguh cerita kepahlawanan yang menyentuh. Terutama rakyat Bali dengan semangat puputannya. 
Bangsa yang gagah ini mempunyai moral yang sangat agung untuk tidak serta merta tunduk pada penjajah. Meskipun mereka tahu bahwa mereka akan kalah tapi mereka tetap berperang hingga orang terakhir. Semua demi mempertahankan tanah dewata. Kecintaan terhadap tanah air, tempat dimana bumi mereka berpijak. 
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak melupakan sejarah bangsanya sendiri.”
-Ir. Soekarno-

Penulis: Ari Budiarsyah
Baca Juga  Survei ETOS Indonesia Institut Pasangan Heri Koswara - Solihin Ungguli Calon Walikota Bekasi Lain

Berita Lain

Ikuti Update dan perkembangan informasi tentang Bekasi di WhatsApp Channel Bekasi Voice